
SESI II KULIAH UMUM: MISSIOLOGY
Rev. Joona Toivenen (FLEM)
Selasa, 23 September 2025
SESI II: MISSIOLOGY
Kadang ketika kita mendengar orang berbicara tentang misi, yang sering muncul adalah pembahasan mengenai siapa yang dikutuk dan siapa yang selamat. Namun, saya tidak menyarankan pendekatan seperti itu, karena sangat mudah terjebak pada perdebatan tentang doktrin predestinasi.
Doktrin Predestinasi
Apa itu predestinasi?
Secara sederhana, predestinasi adalah ajaran bahwa bahkan sebelum manusia dilahirkan, Tuhan sudah menentukan siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang akan binasa.
Dalam teologi Reformasi, sebagian besar reformator berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dalam hal rohani. Artinya, kita bisa memilih hal-hal jasmani seperti makan nasi atau telur di pagi hari, tetapi kita tidak bisa memilih untuk tidak berdosa. Mengapa? Karena pada dasarnya semua manusia sudah berdosa.
Segala sesuatu yang kita lakukan di luar Kristus tetaplah dosa. Jika demikian, maka keselamatan tidak bergantung pada pilihan kita, tetapi sepenuhnya pada keputusan Allah. Inilah yang menimbulkan masalah besar: jika manusia tidak bisa memilih, berarti Tuhanlah yang menentukan sejak semula siapa yang diselamatkan dan siapa yang masuk neraka.
Pandangan inilah yang banyak dianut dalam tradisi Kalvinis. Karena itu, tokoh seperti Jacobus Arminius menolaknya. Arminius menekankan kebebasan kehendak manusia dan ajarannya lebih dekat kepada teologi Katolik, bahwa manusia dapat memilih.
Martin Luther sendiri tidak setuju dengan predestinasi ganda. Ia melihatnya sebagai sebuah persoalan besar. Memang, kadang Luther memakai metafora tentang neraka, tetapi ketika berbicara tentang keselamatan, ia lebih menekankan hukum dan Injil.
Hukum, Injil, dan Anugerah
Menurut Luther, Allah memakai hukum untuk menyadarkan manusia akan dosa, dan Injil untuk menyatakan keselamatan. Keselamatan bukan hasil usaha manusia, melainkan sepenuhnya anugerah Allah. Dosa adalah kenyataan, tetapi pengampunan juga adalah anugerah Allah.
Karena itu, dalam berbicara tentang misi, jangan berfokus pada ancaman neraka. Jika orang hanya mendengar neraka, mereka akan takut dan enggan datang kepada Allah. Fokuslah pada kasih karunia dan keselamatan di dalam Kristus.
Teologi Rekonsiliasi
Beberapa teolog, seperti Karl Barth, menekankan bahwa pada akhirnya seluruh dunia sudah diperdamaikan dengan Allah melalui kematian dan kebangkitan Kristus. Paulus menuliskan bahwa pada akhirnya “Allah akan menjadi semua di dalam semua” (1 Korintus 15:27–28).
Artinya, pekerjaan misi berakar pada karya Kristus yang sudah selesai: pendamaian Allah dengan dunia. Gereja dipanggil untuk mewartakan rekonsiliasi itu, bukan untuk menakut-nakuti manusia dengan neraka.
Misi dan Keadilan Sosial
Dalam perkembangan zaman, muncul dua pemahaman besar tentang misi:
-
Misi ke Atas (Spiritual):
-
Misi ke Bawah (Sosial):
Menekankan kasih kepada Allah dan sesama sebagaimana Kristus mengasihi kita. Iman adalah perjalanan rohani untuk mengubah hati manusia dan membawa jiwa kepada Allah.
Dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Karl Marx, yang melihat agama sebagai alat perubahan sosial. Dalam pendekatan ini, misi dipahami sebagai upaya menghadirkan “surga di bumi” melalui transformasi politik dan sosial.
Sebagai orang Kristen, kita perlu berhati-hati. Memang misi bisa berdampak pada politik dan perubahan sosial, tetapi tujuan utama misi bukanlah politik. Tujuan utama misi adalah membawa manusia kepada Kristus dan mengubah hati mereka melalui Injil.
Kesimpulan
Misi bukan tentang siapa yang masuk surga atau neraka, bukan juga sekadar proyek sosial atau politik. Misi adalah panggilan untuk memberitakan kasih karunia Allah di dalam Kristus, yang telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya.
Dengan demikian, ketika berbicara tentang misi:
-
Jangan berfokus pada neraka, tetapi pada Injil.
-
Jangan berhenti pada perubahan sosial, tetapi utamakan rekonsiliasi manusia dengan Allah.
-
Jangan mengandalkan usaha manusia, tetapi percayalah pada anugerah Kristus.