PEMBINAAN CALON TAHBISAN PENDETA DAN PENGUKUHAN EVANGELIST 2025
Tema; APA ARTINYA MENJADI SEORANG LUTHERAN?
Ketua BPRP: Pdt. Aladin Sitio, Grad, Dip. Min, M.Th
Pengantar Pembekalan Calon Tahbisan dan Pengukuhan
Saya masih ingat pertama kali saya diminta menjelaskan mengapa kita disebut Lutheran. Saat itu, saya menyadari bahwa banyak orang mengenal nama “Lutheran”, tetapi belum tentu memahami jantungnya. Maka saya kembali ke hal-hal yang paling mendasar: siapa pusat iman kita, dari mana ajaran kita diukur, dan bagaimana gereja diikat dalam kesatuan yang benar.
Kita disebut Lutheran bukan karena tradisi yang unik atau gaya ibadah tertentu, melainkan karena pengakuan iman yang jelas: Yesus Kristus adalah pusat segala sesuatu. Ia yang disalibkan dan bangkit menjadi kabar baik yang kita dengarkan setiap minggu. Dari mimbar sampai meja altar, dari pembaptisan sampai pengampunan dosa, kita dihadapkan pada satu kebenaran yang sama: Allah yang kudus mengasihi orang berdosa dan menganugerahkan keselamatan melalui Firman dan Sakramen.
Itulah sebabnya kita memegang Kitab Suci sebagai satu-satunya ukuran yang tidak mungkin salah. Kita menyebutnya Sola Scriptura. Dari sana kita belajar bahwa keselamatan adalah anugerah (Sola Gratia), diterima melalui iman (Sola Fide), di dalam Kristus saja (Solus Christus), untuk kemuliaan Allah (Soli Deo Gloria). Ini bukan sekadar slogan; inilah napas kehidupan jemaat. Ketika Firman diberitakan, Allah sendiri mengerjakan iman. Ketika seseorang dibaptis, Allah meneguhkan janji-Nya. Ketika roti dan anggur dibagikan, Kristus sungguh-sungguh hadir memberi tubuh dan darah-Nya bagi pengampunan dosa. Inilah Sarana Anugerah, cara Allah membagikan keselamatan secara nyata dan objektif.
Dari sini kita mengerti apa itu gereja. Konfessi Augsburg Pasal VII merumuskannya sederhana tetapi dalam: gereja adalah persekutuan orang-orang kudus di mana Injil diajarkan dengan murni dan Sakramen dilayankan dengan benar. Karena itu, kesatuan gereja bukan soal seragamnya liturgi atau tradisi atau musik, melainkan kesepakatan dalam ajaran Injil dan kesetiaan pada pelayanan Sakramen sesuai penetapan Kristus. Tradisi dapat berbeda, budaya dapat beragam, tetapi Injil yang sama dan Sakramen yang benar mempersatukan kita.
Kesatuan seperti ini menuntun kita bersikap bijak tentang persekutuan mimbar dan meja altar. Kita mengasihi semua orang dan bersukacita bekerja sama dalam hal-hal sosial, pendidikan, dan kemanusiaan. Namun, ketika menyangkut mimbar dan meja Tuhan, kita bertanya: Apakah kita sungguh satu pengakuan dalam ajaran? Ini bukan sikap menutup diri, melainkan kasih yang bertanggung jawab agar jemaat tidak dibingungkan dan tubuh serta darah Kristus dihormati sebagaimana mestinya. Kasih yang benar selalu berjalan bersama kebenaran.
Dalam penggembalaan, kita juga sering bertemu pertanyaan tentang kesetaraan. Galatia 3:26–28 mengatakan bahwa di dalam Kristus kita semua adalah anak-anak Allah oleh iman; tidak ada Yahudi atau Yunani, budak atau merdeka, laki-laki atau perempuan. Ayat ini mengajarkan kesetaraan dalam anugerah dan keselamatan. Namun, kesetaraan ini tidak meniadakan ordo panggilan yang Allah tetapkan dalam keluarga, gereja, dan masyarakat. Setiap orang dipanggil melayani dalam peran yang berbeda-beda, tetapi semuanya dihargai di hadapan Allah karena Kristus. Inilah cara Injil memerdekakan: bukan menghapus perbedaan panggilan, melainkan menguduskan semuanya untuk melayani.
Kadang-kadang kita memerlukan gambaran yang konkret. Ingat Zakheus. Ia bukan diselamatkan karena tiba-tiba menjadi murah hati; justru sebaliknya Kristus lebih dahulu datang kepadanya, dan kedatangan Kristus inilah yang melahirkan pertobatan dan buah kasih. Perubahan hidup Zakheus adalah buah dari Injil, bukan sebab keselamatan. Demikian pula kita: Injil lebih dahulu menyentuh, mengampuni, memulihkan; barulah hidup kita berbuah dalam syukur dan pelayanan.
Karena Injil bekerja melalui Sarana Anugerah, ibadah kita diarahkan untuk memusatkan jemaat pada Kristus. Itulah mengapa liturgi menuntun kita dari pengakuan dosa menuju absolusi, dari pembacaan Firman menuju khotbah yang membedakan Hukum dan Injil, dari pengakuan iman menuju doa syafaat, dan bila dilayankan menuju Perjamuan Kudus. Ukurannya bukan “apakah suasananya menyenangkan,” melainkan apakah Kristus benar-benar diberitakan, dan apakah Sakramen dilayankan sesuai penetapan-Nya. Ketika itu terjadi, ibadah bukan sekadar pertemuan mingguan, melainkan perjumpaan dengan Allah yang hidup.
Semua ini mengalir ke kehidupan sehari-hari. Kita didorong untuk memelihara disiplin rohani: membaca Kitab Suci, berdoa, dan belajar Katekismus Kecil bersama keluarga. Para pelayan mempersiapkan khotbah dengan tekun, bukan sekadar memberi nasihat moral, melainkan memberitakan Kristus yang menanggung dosa dan membangkitkan harapan. Jemaat diajak mendekati Baptisan sebagai panggilan pertobatan harian, dan datang ke meja Tuhan dengan pengertian yang dewasa bukan kebiasaan kosong, melainkan perjamuan anugerah yang menguatkan.
Jika suatu saat kita diundang melayani di tempat yang berbeda, kita menyambutnya dengan syukur. Kita sampaikan Kristus yang sama, dengan kejelasan yang sama, sambil tetap hormat pada pengakuan yang kita pegang. Kerja sama sosial dapat dilakukan luas, namun ketika menyentuh mimbar dan altar, kita kembali pada pertanyaan dasar: Apakah Injil dipahami sama? Apakah Sakramen dilayankan sesuai penetapan Kristus? Di sinilah kebijaksanaan pastoral diperlukan, supaya kasih tidak memudar, dan kebenaran tidak kabur.
Akhirnya, menjadi Lutheran berarti hidup dari janji Allah. Kita mengaku bahwa keselamatan bukan proyek kita, melainkan karya Kristus yang dibagikan melalui Firman dan Sakramen. Kita bersukacita karena Injil murni masih diberitakan, dan Sakramen benar masih diberikan bagi umat-Nya. Dari sinilah lahir kesatuan yang kokoh: bukan keseragaman yang dipaksakan, melainkan persetujuan yang jernih dalam ajaran dan pelayanan. Dengan demikian, jemaat dikuatkan, Kristus dimuliakan, dan dunia merasakan buah kasih yang tumbuh dari Injil.
Kiranya Allah memelihara kita untuk tetap setia pada Firman, tekun dalam doa, dan murah hati dalam pelayanan sehingga setiap orang yang datang ke tengah persekutuan kita benar-benar bertemu dengan Yesus Kristus, satu-satunya Juruselamat. Amin.
Soli Deo Gloria :)